IDUL FITRI selalu hadir sebagai penutup ibadah puasa Ramadhan
setiap tahun. Sudah barang tentu kita semua bersama seluruh kaum muslimin
senantiasa menyambut dan merayakannya dengan rasa penuh kegembiraan, keceriaan,
kebahagiaan dan kesuka citaan. Namun yang perlu menjadi pertanyaan adalah:
sudah benarkah sikap dan cara kita selama ini dalam memaknai, menyambut dan
merayakan Idul Fitri? Ini yang harus selalu menjadi bahan renungan dan muhasabah
(introspeksi atau evaluasi diri) kita setiap saat, khususnya setiap kali kita
berjumpa dengan Idul Fitri seperti hari ini.
Mari kita tengok sejenak beragam pemaknaan dan penyikapan yang ada
di masyarakat kita terhadap hari raya idul fitri ini. Diantara masyarakat ada
yang memelesetkan idul fitri yang juga biasa disebut hari lebaran menjadi hari bubaran
dengan arti: bubar puasanya, bubar pula ke masjidnya, bubar baca Qur’annya, dan
seterusnya dan seterusnya. Artinya bubar Ramadhan-nya berarti bubar pula
ketaatannya (?). Sementara itu banyak kalangan yang memaknai dan memahami hari
raya lebaran ini hampir hanya sebagai hari yang identik dengan segala yang
serba baru dan anyar; baju baru, celana baru,
jilbab baru, dan lain-lain yang serba baru. Bahkan ada juga sebagian masyarakat
kita yang tidak memahami hari raya Idul Fitri melainkan sekadar sebagai ajang
pesta kembang api dan ‘perang’ petasan! Meskipun yang disebutkan terakhir ini
sudah sangat berkurang sekarang jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang
lalu.
Sebagaimana, berdasarkan fakta dan realita kebiasaan masyarakat
kita, selama ini telah terbangun opini publik yang rasanya sangat sulit untuk
diubah, yakni bahwa hari idul fitri itu sama dengan hari mudik dan pulang
kampung massal untuk berkumpul dengan keluarga dan handai tolan. Tapi disini,
tentu bukan mangan gak mangan ngumpul, tapi
justru ngumpul-ngumpul
untuk mangan-mangan,
karena pada hari raya hampir bisa dipastikan di setiap rumah keluarga muslim
makanan dan jajanan selalu banyak dan bermacam ragam. Disamping itu telah
terbentuk pula kebiasaan yang sudah merata di masyarakat kita bahwa, hari idul
fitri adalah hari salam salaman, hari maaf
maafan, hari saling beranjang sana dan bersilaturrahim antar
keluarga, kerabat, handai tolan, tetangga dan sahabat.
Itu adalah sekelumit gambaran tentang beragam pemaknaan, penyikapan
dan fenomena seputar hari raya idul fitri di masyarakat kita. Tentu masih
banyak lagi yang lainnya. Dan tentu saja bukan berarti itu semua salah.
Sebagiannya adalah benar, baik, positif dan justru merupakan salah satu sunnah
hasanah (kebiasaan baik) yang harus tetap dipertahankan, seperti
kebiasaan silaturrahim itu misalnya. Namun jika yang kita pahami dan dapatkan
dari idul fitri yang merupakan penutup dan sekaligus pelengkap ibadah Ramadhan,
hanyalah yang seperti itu saja, tentu sangat tidak tepat.
Karena
Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua hari raya dalam Islam yang ditetapkan
langsung oleh Allah sebagai pengganti hari-hari raya yang pernah dikenal oleh
masyarakat Arab sebelum Islam datang.
عَنْ
أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: “مَا هَذَانِ
الْيَوْمَانِ؟” قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ اللَّهَ قَدْ
أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْر” (رواه
أبو داود والنسائي وأحمد وابن حبّان).
Dari Anas dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba
di Madinah, sedangkan penduduknya memiliki dua hari khusus yang mereka rayakan
dengan permainan, maka beliau bersabda: “Apakah maksud dari dua hari ini?”
mereka menjawab; “Kami biasa merayakan keduanya dengan permainan semasa masih
Jahiliyah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda; “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik
dari kedua hari tersebut, yaitu hari (raya) kurban (Iedul Adha) dan hari raya
Iedul fithri.” (HR. Abu Dawud, An-Nasaa-i, Ahmad dan Ibnu Hibban ).
Dan kedua hari raya Islam tersebut dikaitkan dan digandengkan
dengan dua rukun utama ajaran Islam yakni: puasa Ramadhan dan haji ke
Baitullah di Tanah Suci Mekkah. Maka Idul Fitri dengan demikian – sebagaimana
Idul Adha – adalah merupakan salah satu diantara hari-hari dan syi’ar-syi’ar
Allah yang harus kita sambut dan rayakan dengan sikap penuh rasa ibadah,
pemuliaan dan pengagungan – dalam batas-batas koridor syar’i – sebagai bukti
ketaqwaan hati kita. Allah Ta’ala berfirman
”Begitulah,
dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu termasuk
(bukti) ketaqwaan hati” (QS Al-Hajj : 32).
Nah, sebagai salah satu syi’ar Allah yang istimewa, tentu saja idul
fitri memiliki muatan makna dan kandungan hikmah yang banyak dan istimewa pula,
dan yang sangat kita butuhkan sebagai bekal utama dalam perjalanan hidup kita
selanjutnya pasca Ramadhan.
Dan dalam kesempatan khutbah kali ini, saya ingin mengajak para
jamaah dan seluruh kaum muslimin dan muslimat untuk mentadabburi dan
merenungkan tentang beberapa hikmah besar di balik momentum syi’ar hari raya
idul fitri ini.
1.
Hikmah
Kegembiraan dan Kesyukuran
Hikmah pertama yang sangat menonjol dari momen idul fitri adalah
hikmah kegembiraan dan kesyukuran. Ya, semua kita bergembira dan bersuka ria
saat menyambut Idul Fitri seperti sekarang ini. Dan memang dibenarkan bahkan
disunnahkan kita bergembira, berbahagia dan bersuka cita pada hari ini. Karena
makna dari kata ‘ied itu sendiri adalah hari raya,
hari perayaan, hari yang dirayakan. Dan perayaan tentu identik dengan
kegembiraan dan kebahagiaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
sendiri telah menegaskan itu dalam hadits shahihnya.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ
عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ:
(إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ
وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي) لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ
وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ
مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ” (متّفق عليه).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap amal anak Adam dilipatgandakan
pahalanya. Satu macam kebaikan diberi pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali.
Allah ‘azza
wajalla berfirman; ‘Selain puasa, karena puasa itu adalah untuk-Ku
dan Aku-lah yang langsung akan memberinya pahala. Sebab, ia telah meninggalkan
nafsu syahwat dan nafsu makannya karena-Ku.’ Dan bagi orang yang berpuasa ada
dua momen kegembiraan: kebahagiaan ketika ia berbuka (baca: berhari raya
fitri), dan kegembiraan lain ketika ia bertemu dengan Rabb-Nya. Sesungguhnya
bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada aroma
kesturi.” (HR. Muttafaq ’alaih).
Tapi yang perlu menjadi perenungan, introspeksi dan pertanyaan kita
adalah: kegembiraan seperti apakah yang harus kita miliki dan tunjukkan pada
hari raya fitri seperti saat ini? Dan jawabannya bahwa, kegembiraan yang harus
kita miliki dan rasakan haruslah merupakan kegembiraan syukur kepada
Allah yang telah mengkaruniakan taufiq kepada kita untuk bisa mengoptimalkan
pengistimewaan Ramadhan dengan amal-amal yang serba istimewa, dalam rangka
menggapai taqwa yang istimewa. Dan bukan kegembiraan lainnya misalnya yang
muncul karena merasa telah lepas dari Ramadhan yang disikapi sebagai bulan beban
yang serba memberatkan, mengekang dan membelenggu!
Itulah kebembiraan kita sebagai orang beriman: gembira karena
ketaatan, kebaikan dan kesalehan. Dan bukan gembira karena sebaliknya, karena
kemaksiatan, keburukan dan kejahatan. Seperti yang terjadi di zaman modern
seperti sekarang ini, dimana banyak orang yang justru gembira dan bangga dengan
kemaksiatan dan penyimpangannya. Dalam sebuah riwayat hadits disebutkan bahwa,
“مَنْ سَرَّتْهُ
حَسَنَتُهُ، وَ سَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ، فَهُوَ مُؤْمِنٌ” (رواه الطّبراني).
”Barangsiapa bersenang hati dengan amal kebaikannya, dan bersedih
hati dengan keburukan yang diperbuatnya, maka berarti dia orang beriman” (HSR
Ath-Thabrani).
Begitu pula kegembiraan orang berima adalah kegembiraan karena
syukur atas berbagai kenikmatan Allah yang tak terhitung. Seperti firman-Nya
yang artinya):
“Dan jika kamu mau menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu
tidak akan mampu menghitungnya” (QS. Ibrahim [14]: 34; QS. An-Nahl [16]: 18).
Dan nikmat yang paling utama tentulah nikmat hidayah, nikmat
keimanan, nikmat keislaman dan nikmat ketaatan.
2.
Hikmah
Ketauhidan, Keimanan dan Ketaqwaan
Dalam menyambut ‘Iedul Fithri, disunnahkan bagi kita untuk banyak
mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih dan tahmid sebagai bentuk penegasan dan
pembaharuan deklarasi iman dan tauhid. Itu berarti bahwa identitas iman dan
tauhid harus selalu kita perbaharui dan kita tunjukkan, termasuk dalam
momen-momen kegembiraan dan perayaan, dimana biasanya justru kebanyakan orang
lalai dari berdzikir dan mengingat Allah.
“… dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa Ramadhan), dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas hidayah-Nya yang diberikan kepadamu, dan
supaya kamu (lebih) bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).
Seperti juga yang diperintahkan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, saat memperoleh karunia kenikmatan puncak yang
telah diidam-idamkan selama bertahun-tahun oleh beliau dan para sahabat, berupa
kemenangan dakwah Islam yang gilang gemilang, penaklukkan kota Mekkah dan
berbondong-bondongnya masyarakat Jazirah Arab dalam memeluk Islam. Dimana dalam
rangka mensyukuri dan merayakan kemenangan puncak itu, beliau justru
diperintahkan untuk bertasbih, bertahmid dan beristighfar.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (penaklukan
Mekkah).Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
Maka (sebagai bentuk syukur) bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan
beristighfarlah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat” (QS.
An-Nashr: 1-3).
Nah jika kita tetap banyak bertakbir, bertasbih, bertahmid dan
bertahlil serta berdzikir mengagungkan Allah, pada momen kemenangan,
keberhasilan, kegembiraan dan perayaan – yang biasanya melalaikan – maka
harapannya, pada momen-momen dan kesempatan-kesempatan lain, insyaa-allah akan
lebih mudah lagi bagi kita untuk bisa menjaga dan melakukan itu semua.
Maka ma’asyiral muslimin, setelah
ditempa dan ditarbiyah di bulan keimanan, dan dengan bekal taqwa lebih istimewa
yang telah kita raih darinya, marilah dalam perjalanan hidup selanjutnya, kita
jaga, kita buktikan dan kita tunjukkan selalu identitas keimanan, keislaman,
ketaqwaan dan kedekatan kita dengan Allah ‘Azza wa Jalla.
Karena itulah bukti bahwa, kita telah berhasil dan sakses dalam
menjalani ibadah puasa beserta seluruh rangkaian amal ibadah yang menyertainya
selama bulan Ramadhan. Bukankah tujuan dan goal utama dari ibadah Ramadhan
adalah untuk mendapatkan ijazah taqwa ?
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu (lebih)
bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).
Oleh karena itu, selepas Ramadhan ini, dan pada momen iedul fitri
ini, kita harus terlahir kembali menjadi pribadi-pribadi muslim dan muslimah
baru yang lebih murni tauhidnya, lebih indah imannya, dan lebih istimewa
taqwanya, bagi kehidupan yang lebih islami dan lebih baik, dalam diri pribadi,
dalam keluarga, dalam masyarakat, bangsa dan negara.
3.
Hikmah
Kefitrahan
Biasa juga dikatakan bahwa, dengan hadirnya Iedul fitri berarti
kita kaum muslimin kembali kepada fitrah, kembali kepada kesucian. Dan itu
benar. Karena jika benar-benar dioptimalkan, maka Ramadhan dengan segala
amaliah istimewanya adalah salah satu momentum terbaik bagi peleburan dosa dan
penghapusan noda yang mengotori hati dan jiwa kita serta membebani diri kita
selama ini.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
“مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ” (متّفق علَيْه).
Dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala (dan
ridha Allah), maka niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR.
Muttafaq ‘alaih).
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
“مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ” (متَّفق علَيْه).
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barangsiapa melakukan qiyamullail pada bulan Ramadlan karena iman
dan mengharap pahala (dan ridha Allah), maka niscaya diampuni dosa-dosanya yang
telah lalu”. (HR. Muttafaq ‘alaih).
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ” (متَّفق علَيْه).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang melakukan qiyamullail
pada (malam) lailatul qadar (mengisi dengan ibadah) karena iman kepada Allah
dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka niscaya akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu… “ (HR. Muttafaq ‘alaih).
Nah setelah kebersihan diri, kesucian jiwa dan kefitran hati itu
kita dapatkan kembali, sehingga kita menjadi bak bayi suci yang baru dilahirkan
ibunya, atau ibarat lembar kertas putih nan bersih, marilah pada hari raya
fitri ini kita tuluskan niat, bulatkan tekad dan kuatkan semangat untuk menjaga
kebersihan, kesucian dan kefitrahan itu seterusnya dalam hidup kita. Sehingga
sebisa mungkin jangan lagi kembali kepada dosa-dosa yang akan membuat noda-noda
baru. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan, taufiq dan hidayah-Nya kepada
kita semua. Aamiin.
4.
Hikmah
Kepedulian
Islam adalah agama peduli. Oleh karenanya uammatnyapun adalah ummat
peduli. Dan sifat serta karakter kepedulian itu begitu tampak nyata dan
terbukti secara mencolok selama bulan mulia yang baru saja berlalu. Dimana
semangat berbagi dan spirit memberi melaui sunnah berinfak dan bersedekah serta
kewajiban berzakat, begitu indah menghiasi hari-hari penuh peduli sepanjang
bulan Ramadhan. Dan itu semua tidak lain dalam rangka meniru dan mencontoh
keteladanan terbaik dari Baginda Rasul tercinta shallallahu ‘alaihi wasallam.
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ
جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ
الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ
بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ (متَّفق علَيْه).
Dari Ibnu ‘Abbas berkata, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling dermawan, lebih-lebih
pada bulan Ramadlan ketika malaikat Jibril ‘alaihis salam menemuinya, dan
adalah Jibril ‘alaihis salam mendatanginya setiap
malam di bulan Ramadlan, untuk bertadarus Al Qur’an dengan beliau. Sungguh
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam jauh lebih ermawan dengan kebajikan daripada angin
yang bertiup (HR. Muttafaq ‘alaih).
Dan kewajiban kita sekarang, di hari fitri ini, adalah menjaga
keistiqamahan dengan melanjutkan semangat berbagi dan karakter memberi sebagai
bukti taqwa ini, pasca Ramadhan pada hari-hari kehidupan kita selanjutnya.
Karena bukankan kita berbagi adalah dengan saudara-saudara kita
yang membutuhkan? Bukankah kita memberi adalah untuk mereka-mereka yang
menunggu uluran tangan? Bukankah kita berinfak, bersedekah dan berzakat,
disamping untuk melaksanakan sunnah dan menunaikan kewajiban, adalah untuk
menutup kebutuhan ummat dan memenuhi kemaslahatan Islam? Nah jika pasca
Ramadhan kita berhenti berbagi dan memberi, apakah berarti bahwa, semua yang
membutuhkan kepedulian kita itu hanya ada di bulan Ramadhan, dan langsung
hilang tanpa sisa begitu bulan suci berakhir?
Tentu saja tidak! Maka mari kita jaga dan pertahankan hikmah
kepedulian ini, sebagai bukti taqwa dan sekaligus wujud syukur yang telah kita
raih melalui seluruh amaliah Ramadhan yang baru saja berlalu.
5.
Hikmah
Kebersamaan dan Persatuan
Selama Ramadhan, suasana dan nuansa kebersamaan serta persatuan
ummat begitu kental, begitu terasa dan begitu indah. Mengawali puasa
bersama-sama (seharusnya dan sewajibnya), bertarawih bersama (disamping jamaah
shalat lima waktu juga lebih banyak selama Ramadhan), bertadarus bersama,
berbuka bersama, beri’tikaf bersama, berzakat fitrah bersama, dan beriedul
fitri bersama (semestinya!).
Dan hal itu karena memang ibadah dan amaliah Ramadhan serta ‘Iedul
Fithri adalah bersifat jama’iyah, kolektif, dan serba
bersama-sama. Tidak bisa dan tidak boleh sendiri-sendiri.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
“الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ
تُضَحُّونَ” قَالَ أَبُو عِيسَى وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا
الْحَدِيثَ فَقَالَ: إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ
الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ (رواه التّرمذيّ وأبو داود وابن ماجة، وصحّحه أحمد
شاكر والألبانيّ).
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda: ” Berpuasa itu adalah pada hari dimana kalian semua berpuasa (secara
bersama-sama), dan beriedul fitri itu adalah pada hari dimana kalian semua
beeiedul fitri (secara bersama-sama), demikian juga dengan Iedul Adlha, yaitu
pada hari dimana kalian semuanya beriedul adha (secara bersama-sama).” (HR
Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan
Al-Albani. Imam Abu ‘Isa At-Tirmidzi berkata: sebagian ulama menafsirkan hadits
ini bahwa maksudnya, sesungguhnya shaum dan iedul fitri (dan juga iedul adha –
pen.) itu (harus) bersama jama’ah dan mayoritas ummat manusia (ummat Islam).
Oleh karena itu kita semua patut bergembira dan bersyukur setiap
kali bisa memulai puasa Ramadhan secara serempak, berbareng dan bersama-sama,
tanpa ada perbedaan dan perselisihan yang berarti ( kecuali dari beberapa
kelompok kecil Ummat yang tetap “istiqamah” dengan pilihan “madzhab” uniknya
masing-masing). Begitu pula dalam berbahagia menyambut dan merayakan ‘Iedul
Fitri atau ‘Iedul Adha, saat terjadi secara serempak. Dimana nuansa kebersamaan
dan persatuan terasa begitu indah. Suasana kegembiraan dan rasa kebahagianpun
tampak demikian total dan seakan sempurna. Dan itulah memang esensi dan hakekat
makna berhari raya dan beriedul fitri.
Meskipun sebenarnya masih ada saja yang mengganjal dan terasa
kurang plong.
Yakni karena terjadinya kebersamaan dan kesamaan dalam penetapan awal Ramadhan
dan atau ‘Iedul Fitri serta ‘Iedul Adha khusus di negeri ini sampai detik ini,
masih bersifat by accident (baca: by
ketepatan dan kebetulan, dimana secara ketepatan dan kebetulan, baik penganut
madzhab hisab maupun rukyah sama-sama menetapkan keputusan yang sama.), dan
belum bersifat by design (baca: by
kesepakatan antar seluruh atau mayoritas kaum muslimin bersama Pemerintah
berdasarkan pola dan kaidah penyatuan tertentu). Padahal kondisi terakhir
inilah yang wajib terjadi, dan yang selama ini masih selalu sangat kita
harap-harap, tunggu-tunggu dan angan-angankan.
Karena sebelum tercapainya sebuah pola kesepakatan tertentu itu,
berdasarkan fikih toleransi dan kompromi disamping tentu keluasan wawasan,
kelapangan dada, kedewasaan sikap dan semangat penyatuan, maka perbedaan
dan perselisihan – di tataran penerapan – masih selalu saja sangat mungkin
terjadi sewaktu-waktu, ketika hilal berada pada posisi yang “tidak aman”.
Sehingga terjadinya perbedaan dan perselisihan itupun akan selalu terulang lagi
dan lagi. Dan, akibatnya, dengan perselisihan yang belum mampu ditoleransikan
dan dikompromikan itu, ibadah-ibadah yang semestinya menjadi syi’ar ukhuwah,
kebersamaan dan persatuan kaum muslimin tersebut, justru bisa berubah menjadi
simbol ananiyah
(egoisme), ‘ashabiyah
(fanatisme) dan perpecahan antar kelompok-kelompok Umat.
Maka marilah hikmah kebersamaan dan persatuan yang menjadi salah
satu ruh ibadah Ramadhan dan esensi iedul fitri ini, kita jaga, pertahankan dan
tingkatkan terus, sehingga benar-benar menjadi karakter tetap diri kita sebagai
kaum mukminin yang senantiasa bersaudara secara harmonis dan mesra.
”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah
kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Al-Hujuraat: 10).
Dan tentu kita semua tahu dan sadar bahwa, persaudaraan,
kebersamaan serta persatuan adalah bagian terpenting dari pilar kekuatan dan
kekokohan ummat Islam, yang wajib terus menjadi idealita dan cita-cita setiap
kita untuk direalisir dan diwujudkan.
Itulah 5 hikmah penting dari amaliah ibadah Ramadhan dan keindahan
iedul fitri yang seharusnya kita nikmati dan dapatkan. Semoga kita semua selalu
bisa meraup bagian terbaik dan terbanyak dari hikmah-hikmah besar itu. Dan
selanjutnya terus bisa mempertahankan dan meningkatkannya. Aamiin
yaa Rabbal ‘aalamiin.
( Khoiruzzad, Redaktur Pelaksana )
0 komentar:
Posting Komentar
Penerbitan Tabloid Wanita Kudus edisi perdana ini, tentu menjadi sejarah baru di Kabupaten Kudus. Dengan fasilitas sederhana, tentu tanpa mengurangi semangat kami untuk menampilkan Tabloid yang profesional dapat diterima oleh masyatakat khususnya kaum wanitanya. Satu dan lain hal, perjuangan kaum wanita saat ini sudah
WANITA KUDUS
Sopan Bahasa Santun Dalam Berita
Pemimpin Umum/Pemimpin Perusahaan : Mbarsidi. Penanggung Jawab / Pemimpin Redaksi : Soehartono, SH. Redaktur Pelaksana / Sekretaris Redaksi : Khoiruzzad. Reporter : Mbarsidi, Soehartono, Khoiruzzad, Saeful Anas, Agus Santoso. Fotografer : Agus Santoso. LayOut / Desain Grafis / Artistik : Saeful Anas. Biro Hukum : M. Ulin Nuha, SH. Manajer Keuangan : Masriah. Manajer Sirkulasi dan Iklan : M. Adib Himawan. Diterbitkan